Para seniman graffiti di Malang Raya kini menunjukkan transformasi signifikan. Dulu identik dengan vandalisme dan persaingan antar kelompok, kini graffiti berkembang menjadi media ekspresi positif dan kreatif. Komunitas Malang Graffiti Movement (MGM), berdiri sejak 2018, memfasilitasi seniman muda dan menanamkan etika berkarya.

MGM memiliki sekitar 50 anggota aktif yang rutin berkarya. Komunitas ini menekankan pentingnya pesan sosial melalui graffiti, termasuk isu tragedi Kanjuruhan dan tuntutan 17+8, sebagai cara menyampaikan opini publik secara kreatif.

Selain membuat karya di jalanan, MGM aktif menggelar live painting dan berkolaborasi dengan komunitas lain. Upaya ini menegaskan bahwa graffiti bukan sekadar coretan, tapi juga media budaya dan sosial yang bernilai.

Anggota MGM, Alam Satria, menekankan etika berkarya. Ia mengingatkan seniman untuk menghindari mencoret makam, tempat ibadah, dan monumen bersejarah agar graffiti tetap dihargai sebagai seni, bukan vandalisme.

Perubahan ini juga terlihat dari munculnya seniman otodidak, seperti Teguh Hari atau Tui dari Kota Batu. Ia mulai serius menekuni graffiti setelah terinspirasi karya lokal dan internasional, kini sering mengerjakan mural di kafe hingga destinasi wisata.

Tui membuktikan bahwa seni jalanan bisa menjadi sumber penghasilan. Ia membuka toko perlengkapan cat semprot dan menjual desain karyanya sendiri, menunjukkan bahwa graffiti bisa berkontribusi pada ekonomi kreatif sekaligus menyalurkan ekspresi seni.

MGM terus mempromosikan graffiti sebagai seni yang estetis dan bermakna sosial. Dengan menjaga etika dan berfokus pada pesan konstruktif, graffiti di Malang Raya kini diterima masyarakat dan menjadi bagian dari budaya lokal yang kaya serta beragam.