Di Kota Malang, graffiti terus berkembang mengikuti tren dan gaya baru. Baru-baru ini, gaya “old school” kembali populer di kalangan penulis graffiti muda, dengan huruf besar dan warna kontras yang mengingatkan era 90-an. Andis Fairuz dari Conneight Studio menyebut tren ini menunjukkan pengaruh musik dan fashion masa lalu terhadap seni jalanan kini.

Selain old school, gaya “Shuvit” juga digemari. Terinspirasi trik skateboard, gaya ini menampilkan tokoh kartun skater dengan aksi melompat dan memutar papan, menambah variasi karya graffiti di Malang.

Setiap gaya membawa tantangan tersendiri. Huruf besar membutuhkan ketelitian ukuran dan goresan, sedangkan efek tiga dimensi membuat writer harus bekerja lama di tembok, kadang hingga berjam-jam.

Tren graffiti kerap muncul karena momentum tertentu. Event seni, pameran, atau situasi sosial mendorong lahirnya gaya baru, termasuk gaya dekoratif yang menonjolkan estetika dan kreativitas dibanding pesan protes semata.

Dua dekade lalu, graffiti di Malang identik dengan perang antarkelompok. Kini, seni jalanan berubah menjadi medium kritik sosial, didorong peran komunitas seperti Malang Graffiti Movement (MGM) yang merangkul para writer untuk tetap berkarya dengan makna.

MGM lahir pada 2018 sebagai wadah bagi seniman graffiti, menjaga etika, dan memperkuat pesan sosial. Saat ini, komunitas ini memiliki sekitar 50 anggota aktif yang rutin berkarya, menggelar live painting, dan berkolaborasi dengan desa maupun komunitas lain.

Meski stigma negatif terhadap graffiti masih ada, MGM berupaya mengubah persepsi masyarakat. Mereka menekankan etika berkarya, melarang mencoret makam, tempat ibadah, atau monumen bersejarah, sambil memperluas dampak positif seni jalanan melalui kolaborasi dan edukasi.