Malang, 22 Juni 2025 – Deretan stan penuh warna, kebahagian serta aroma makanan lokal, dan denting lembut alat putar keramik menjadi saksi hidup kebangkitan semangat di jantung Kampung Keramik Dinoyo. Dalam helatan bertajuk “Ruang Lempung”, kampung yang dulu jadi ikon kerajinan keramik Malang ini kembali bersinar bukan hanya sebagai sentra produksi, tapi sebagai ruang hidup
Malang, 22 Juni 2025 – Deretan stan penuh warna, kebahagian serta aroma makanan lokal, dan denting lembut alat putar keramik menjadi saksi hidup kebangkitan semangat di jantung Kampung Keramik Dinoyo. Dalam helatan bertajuk “Ruang Lempung”, kampung yang dulu jadi ikon kerajinan keramik Malang ini kembali bersinar bukan hanya sebagai sentra produksi, tapi sebagai ruang hidup yang berdenyut dengan kreativitas, cerita, dan harapan.
Diselenggarakan secara kolaboratif oleh kelompok mahasiswa praktikum public relations 3 jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang bersama komunitas mental health, komunitas seni serta pengrajin lokal, Ruang Lempung hadir sebagai ruang baru yang bukan hanya menghidupkan ekonomi lokal, tapi juga menyentuh sisi kemanusiaan dan kebudayaan yang sering terlupakan.

Pengunjung tak sekadar datang untuk membeli, mereka datang untuk mendengar cerita. Tentang tangan-tangan yang membentuk tanah liat menjadi seni. Tentang motif-motif kuno yang diwariskan antar generasi. Tentang kerajinan yang nyaris tergerus zaman, namun kini mendapat ruang untuk kembali bicara.
“Biasanya kami bekerja di belakang layar. Lewat acara ini, kami bisa bicara langsung, menjelaskan makna di balik setiap keramik. Banyak yang bilang jadi lebih menghargai, dan itu membuat kami merasa dihargai juga,” ujar salah satu pengrajin senior Dinoyo.
Lebih dari Produk, Ini Tentang Manusia
Tak hanya soal jual beli, Ruang Lempung juga membawa misi sosial. Di tengah keramaian bazar, sebuah workshop bertajuk “Cara Menjadi Teman yang Baik” menyedot perhatian banyak anak muda. Dipandu oleh Kak Shiva, founder dari komunitas kesehatan mental CareWithUs, sesi ini mengajak peserta untuk memahami pentingnya kehadiran dan empati dalam hubungan sosial sehari-hari sebuah topik yang jarang disentuh dalam konteks kampung, namun sangat relevan di tengah tekanan hidup modern.
Menyatukan Tradisi dan Refleksi

Pengunjung disambut dengan penampilan megah Tari Topeng Malangan, sebuah pertunjukan penuh simbolisme dan nilai budaya. Tak ketinggalan, Bapak Samsul Arifin, seorang pemerhati sejarah lokal, membuka cakrawala baru bagi peserta lewat workshop sejarah Dinoyo yang mengungkap akar kejayaan kampung ini dari masa kolonial hingga era industri keramik tahun 80-an.
“Dinoyo itu bukan hanya tentang keramik, tapi tentang ketekunan, ketahanan, dan warisan,” ujar Pak Samsul di tengah pemaparannya yang mengundang diskusi hangat.
Festival Kampung Keramik: Bukan Sekadar Bazar
Di penghujung acara, Festival Kampung Keramik menjadi momen puncak yang paling ditunggu. Beragam stan kuliner warga memanjakan lidah pengunjung mulai dari jajanan baru terdiri dari cireng, mozarella tarik, magic water hingga kreasi baru dari anak muda Dinoyo. Sambil menyantap makanan, pengunjung bisa berbincang santai dengan para pengrajin, relawan, hingga tokoh kampung yang turut hadir.
Acara ini tidak hanya mempertemukan pembeli dan penjual, tapi juga mempertemukan nilai-nilai yang mungkin mulai terlupakan: gotong royong, kearifan lokal, dan rasa memiliki terhadap lingkungan sendiri.

Ruang Lempung adalah Awal, Bukan Akhir
Dengan antusiasme tinggi dari warga dan pengunjung, Ruang Lempung membuktikan bahwa kampung bukan sekadar tempat tinggal kampung adalah ruang tumbuh. Ruang untuk mencipta, berbagi, dan bertumbuh bersama.
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *